Wednesday, December 01, 2010

Lika-liku alumni dalam menggapai cita

AHMAD HODRI, S. HI
Layaknya orang kebanyakan,  saya juga ketika telah resmi menjadi salah satu wisudawan Institut Agama Islam Ibrahimy Sukorejo Situbondo merasa bingung dan sedikit skeptis dengan gelar dan predikat kesarjanahan S1 Syari’ah yang saya tempuh kurang lebih 4 tahun lamanya.
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo populer dengan pesantren yang sarat dengan nuansa barokah, itu yang -paling tidak- harus bisa dibuktikan oleh jebolan alumnus salafi tercinta ini ketika sudah pulang ke kampung halaman.
Selama dipondok saya tergolong santri yang biasa, layaknya santri yang lain, saya tidak termasuk kutu buku yang selalu bergelut dengan berbagai kitab atau referensi dan pula saya tidak tergolong orang yang study oriented, dengan segudang prestasi.
Namun demikian, sebagai seorang santri yang masuk pesantren pada tahun 2009 silam, dan menjadi  mahasiswa di Fakultas Syari’ah jurusan mu’amalah pada tahun 2002 dituntut untuk beradaptasi dengan kultur dan budaya pesantren, serta mematuhi segala tata tertib dan aturan pesantren. Selama Mahasiswa, sejak awal saya memilih bergelut dengan dunia organisasi, baik di BEM atau di IKSASS, sehingga porsi untuk belajar secara intens mungkin terbagi dengan kesibukan organisasi. Meski tak banyak andil dan kontribusi terhadap pesantren, pada tahun 2004 saya dipercaya untuk menjadi Presiden BEM-FS yang kemudian setelah itu dipercaya juga untuk menjadi Sekum PP. IKSASS
Pada akhir Desember 2006 secara riil saya meninggalkan pesantren tercinta (kurang lebih 7 tahun di Pesantren), belum punya asa dan tujuan yang jelas. Ternyata benar, sesampainya dikampung halaman, hanya rasa kalut yang menyelimuti diri. Namun saya tetap berusaha untuk tegar dan optimis, karena satu keyakinan saya bahwa pondok pesantren salafiyah syafi’iyah adalah pesantren yang memiliki dimensi perbedaan dengan pesantren lain, yakni aroma barokah yang menjadi ciri khasnya.
Saya memaknai barokah bukan pada tataran pasif, barokah itu bisa kita raih apabila ada sikap dan tindakan yang pro aktif, bukan hanya menunggu sembari berpangku tangan. Oleh karena itu, sepekan ada dirumah, tanpa sepengetahuan orang lain, -bahkan orang tua saya sendiri- saya memberanikan diri untuk melayangkan surat lamaran (untuk mengabdikan diri pada Negara) ke Pengadilan Agama Negara Bali, yang kebetulan letak kantornya hanya berkisar 500 m dari rumah saya, kalau nantinya saya diterima, paling tidak bisa menyelamatkan status sebagai sarjana dengan membawa nama besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.
Kala itu tanggal 3 januari 2007, dengan wajah penuh harap, saya langsung menuju bagian umum PA. Negara, meski dengan sedikit rasa malu, akan tetapi saya selalu mencoba untuk tenang, “ah dulu dipondok juga sering keluar masuk birokrasi, ngajukan proposal cari dana kegiatan organisasi, kenapa harus malu”, gumam saya seraya menghibur diri.
Ketika surat sudah resmi masuk dan telah berdisposisi, saya diperkenankan untuk meninggalkan ruang kerja bag. Umum yang waktu itu saya diterima langsung oleh Kaur Umumnya untuk menunggu kabar selanjutnya.
Setiba dirumah, perasaan tak menentu masih menggelayuti hati, namun rasa optimis masih tetap terpatri, masih lekat dalam ingatan saya pesan para ustadz waktu duduk di bangku kelas IV MISSPa, bahwa dengan “keyakinan” kuat, insya Allah kita dapat meraih apa yang kita impikan, “Kullu man lam ya’taqid, lam yantafi’, “ tutur ustadz kala itu sambil memperlihatkan Nadzam Imrithy dan Nazdam Maqsud.
Dayung bersambut, beberapa hari kemudian, telephone rumah berdering dan perasaan berkata “ini telephone dari PA”, ternyata betul, saya di panggil Ketua Pengadilan Agama Negara  untuk menghadap pada hari jum’at tanggal tanggal 5 januari 2007.
Tepat pukul 09.00 wita pada hari jum’at tersebut saya datang mengahadap memenuhi penggilan KPA. Negara, agak canggung rasanya berhadapan dengan beliau karena ini kali pertama saya bertemu dengannya, wajah yang sangat asing dan belum saya kenal sebelumnya.
Seraya berbasa basi KPA menanyakan komitmen saya terkait dengan isi surat lamaran, dan saya jawab dengan tegas bahwa saya betul-betul siap dengan apa yang telah saya ajukan. Kemudian KPA menjelaskan bahwa anggaran pada DIPA (Daftar Isian pelaksanaan Anggaran) PA. Negara sudah tidak ada anggaran untuk tenaga honorer karena tenaga honor disini sudah memenuhi kuota.
Namun demikian, lanjut KPA menuturkan, “pada prinsipnya kami dapat menerima saudara, akan tetapi perlu diketahui dalam hal penggajian mungkin tidak sesuai dengan standar”. Dengan tegas saya menjawab, “tujuan utama saya bukan lah untuk mendapatkan penghasilan yang menggiurkan, bisa masuk di PA saja saya sudah bersyukur dan saya menerima segala kebijakan kantor”.
“Kalau begitu mulai saat ini saudara kami terima, dan satu lagi (sembari mengambil secarik kertas dari laci) ini ada Faximile dari Mahkamah Agung RI tentang penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil/Calon Hakim, kalau bisa ikut juga tes”, anjur KPA. Dengan senang hati saya menerima fax dari MA RI tersebut, seandainya saya tidak punya inisiatif untuk melamar kerja di PA.Negara mungkin saya tidak tau kalau ada bukaan tes waktu itu. Pendaftaran tes dibuka pada tanggal 29-30 januari 2007 di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mataram (waktu itu wilayah Bali, NTB dan Sumbawa gabung di Mataram), sedangkan pelaksanaan tes hari kamis tanggal 8 maret 2007.
Awal januari 2007 wilayah Bali-Lombok sedang dilanda cuaca yang kurang baik, ombak di selat Bali pun sangat besar, namun pada hari minggu tanggal 28 januari 2007 saya bersama 3 orang teman lainnya (2 orang juga alumni Sukorejo, seorang lagi alumni UNISMA Malang) berangkat ke Mataram.
Syukurlah, waktu itu ombak laut Padang Bai – Lombok tidak terlalu besar, sehingga saya beserta rombongan tiba di Mataram dengan -relatif- tanpa halangan. Keesokan harinya, saya langsung menuju sekretariat pendaftaran di kantor PTA. Mataram, setelah lama mengantri, akhirnya tiba juga saatnya giliran saya. Dengan cermat dan teliti, satu demi satu berkas pendaftaran di cek oleh panitia, Alhamdulillah, seleksi administrasi saya dinyatakan lulus dengan nomor ujian 00000007.
Sebagaimana kebiasaan kaum Nahdliyyin, bilangan angka selalu mengandung sejuta makna. Pun juga saya, Nurani berkata, “wah ini pertanda baik, saya lahir tanggal 7, dan nomor ujian saya adalah 7, insya Allah saya lulus”, begitulah meskipun itu hanya sekedar perasaan yang tidak bisa dijadikan pegangan, namun paling tidak, bisa dijadikan sedikit motivasi bagi diri saya.
Setelah proses pendaftaran selesai, saya dan kawan-kawan langsung tolak ke Negara. Malam harinya, saya tiba dirumah. Meskipun sudah diterima untuk mengabdi di PA. Negara, namun saya baru masuk hari rabu tanggal 07 februari 2007, entah kebetulan atau tidak, tapi yang jelas tidak direkayasa, lagi-lagi tanggal 7.
Begitulah kesehariannya saya sudah sibuk masuk kantor, dan di sela-sela kesibukan itu saya harus bekerja keras untuk terus belajar dan mendalami Hukum Acara yang menjadi materi pokok dalam tes yang terdiri dari Tes Subtansi (TS) meliputi Hukum Formil Materiil serta yang terkait dengan dunia Peradilan dan Keagamaan, Tes Pengetahuan Umum (TPU) yang meliputi disiplin keilmuan secara umum dan Tes Bakat Scolastik (TBS) yang banyak memainkan logika.
Hampir setiap waktu luang saya isi dengan belajar, ada satu ruang khusus tempat belajar yang tidak diganggu oleh orang lain termasuk keluarga, diruangan itulah buku-buku referensi tampak berserakan namun itu sudah tertata sehingga setiap hari dalam sebulan seluruh materi tersebut dapat saya selesaikan. Mungkin baru kali ini dalam hidup saya belajar secara intensif, karena saya yakin bahwa kesempatan kedua itu sulit untuk terulang.
Ketika hari semakin dekat pada pelaksanaan tes, dari segi materi tes saya optimis, namun demikian untaian doa selalu membasahi bibir setiap saat dan setiap waktu. Pada hari senin tanggal 5 maret 2007 saya dengan tiga orang teman saya berangkat, meskipun pelaksanaan tes baru akan digelar pada hari kamis tanggal 8 maret 2007. Cuaca buruk waktu itu sedang mencapai puncaknya, ombak dan angin kencang menerpa dinding kapal, hanya pasrah dan tawakkal yang ada dalam diri, Alhamdulillah selama kurang lebih 7 jam di lautan saya dan kawan-kawan tiba di Lombok. Karena waktu pelaksanaan tes masih kurang tiga hari lagi, maka kami memutuskan untuk bermalam di hotel yang tidak jauh dari lokasi pelaksanaan tes, yakni di gedung kampus Nahdlatul Wathan (NW) -NU kalau di Jawa-.
selama tiga hari itu, saya isi dengan relaksasi dan sesekali mengulang materi-materi pokok agar tidak tegang waktu pelaksanaan tes dan kondisi badan dan otak tentunya tetap fit. Ketika hari H, kamis tanggal 8 maret 2007 tepat pukul 08.00 wita tes dimulai, dengan penuh percaya diri sembari membaca doa saya mengerjakan soal demi soal hingga tuntas pada pukul 15.00 wita. Usaha keras dan doa telah saya lakukan, persoalan sukses atau tidak, itu domain Yang Maha Kuasa. Rasa Tawakkal yang kini tersisa dengan sejuta asa.
Keesaokan harinya, kami berencana untuk langsung tolak pulang, namun naas, kapal laut selama tiga hari tidak operasi karena kondisi cuaca yang buruk dan tidak memungkinkan, namun hari ini informasinya akan beroperasi tetapi agak siang. Ternyata betul, pada pukul 10.00 dan 11.00 ada 2 kapal yang akan berangkat dan saya dengan kawan-kawan ikut kapal yang kedua, bisa dibilang ini adalah kapal percobaan karena tiga hari sebelumnya tidak beroperasi. Kapal I tidak jadi berangkat karena ombak dan angin begitu kencang.
Namun tidak dengan kapal yang kami tumpangi, sesuai dengan jadwal tetap berangkat. Sejak awal keberangkatan, sudah bisa dirasakan betapa ombak dan angin begitu keras dan kencang, namun apa mau dikata ini sudah menjadi pilihan dan harus di jalani, hanya doa yang bisa kami panjatkan kehadirat-Nya, semoga selamat sampai ditujuan.
Ternyata benar apa yang kami khawatirkan, deburan ombak senantiasa menghantam dinding-dinding kapal yang terlihat begitu kuat dan kokoh, namun gemuruh angin yang begitu kencang kerap menciutkan nyali, karena ketika sambaran angin menerpa, posisi kapal sangat miring sehingga air laut menyapu lantai tiga (paling atas) dengan begitu mudahnya. Singkatnya, kapal nyaris tenggelam.
Setelah berjam-jam lamanya terombang ambing ditengah lautan, puji syukur Alhamdulillah akhirnya dari kejauhan tampak keindahan pulau Bali yang itu menandakan bahwa tidak lama lagi kapal akan bersandar, dan kami sampai di rumah dengan selamat tidak kurang satu apapun.
Kurang lebih 1 bulan dari pelaksanaan tes, pengumuman kelulusan mulai di umumkan melalui surat pos ke alamat masing-masing. Kala itu hari sabtu awal bulan april pukul 13.00 wita datanglah petugas dari kantor pos yang mengantarkan surat a.n Ahmad Hodri, S.HI dengan kop Mahkamah Agung RI Jakarta Pusat.
Hati saya berdebar, dengan tetap berusaha tenang dan perlahan saya membuka isi surat berwarna cokla tua itu, dengan seksama saya membaca isi surat dan Alhamdulillah dibagian bawah surat dengan cetak tebal tertera “saudara dinyatakan LULUS” dan harus mengikuti tes tahap kedua akhir bulan april yang bertempat di Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya, namun ironisnya, teman-teman yang berangkat bersama-sama untuk mengikuti tes tidak lulus, sehingga sedikit banyak ada beban moral, namun mereka begitu kooperatif dan tetap memberi support kepada saya untuk terus berjuang.
Rasa bahagia menyelimuti diri dan hati saya, meskipun perjuangan ini belum berakhir, karena saya harus berkompetesi lagi menghadapi para pesaing yang tergabung dalam wilayah Tengah Indonesia yang meliputi Jawa Tengah, Jogja, Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT pada ujian tahap kedua, psikotest.
Masih ada waktu untuk belajar lebih baik lagi, seperti biasa saya selalu meningkatkan kualitas belajar, yang ditopang dengan mengikuti bimbingan psikologi di sebuah lembaga psikiater Prof. Sutapa Denpasar selama 2 hari.
Ketika sudah hampir tiba waktu pelaksanaan tes, 3 hari sebelumnya saya sudah standby di Surabaya yakni dirumah teman (Ach. Fauzi, S. HI) yang juga seangkatan di Fakultas Syari’ah IAII. Ujian Psikotes dilaksanakan pada hari kamis akhir bulan april selama sehari penuh, terdiri dari ujian Kitab, intervie dan psikotest. Dalam menghadapi ujian kali ini saya relatif lebih tenang, mungkin karena sudah pernah mengikuti tes sebelumnya, sehingga tidak canggung lagi, padahal ujian psikotest ini menjadi penentu akhir lulus tidaknya kita menjadi CPNS/Cakim dilingkungan MA RI.
Setelah ujian usai, perasaan rasanya plong sudah tidak ada lagi beban mental dan pikiran, tinggal menunggu hasil dari ujian tersebut yang akan diumumkan melalui surat pos kerumah masing-masing dan juga via internet.
Kurang lebih dua minggu kemudian sudah muncul di internet pengumuman kelulusan, dan informasi dari seorang teman di Denpasar bahwa saya dinyatakan lulus. Namun perasaan masih bimbang antara senang dan keraguan, akhirya saya coba untuk cross check buka internet, dan Alhamdulillah nama saya terpampang dalam list pengumuman lulus tes Cakim MA RI angkatan III tahun 2007.
Dua hari kemudian datang surat pos yang berasal dari Mahkamah Agung, meski sudah tau isinya, saya tetap merasa gugup dan perlahan untuk membuka amplop yang berlogo MA RI tersebut, Spontan setelah membaca surat yang menyatakan kelulusan tes itu, tak terasa air mata berlinang rasa bahagia dan suka ria tidak mampu saya bendung, terjawab sudah keraguan saya bahwa untuk masuk birokrasi eksekutif atau yudikatif harus dengan membayar mahal dengan materi, tapi ternyata tidak, dengan tidak mengeluarkan sepeser uang pun saya bisa menjadi bagian dari Korp MA RI, tidak lain dan tidak bukan adalah buah barokah dari Pesantren tercinta.
Tugas berikutnya adalah saya harus melengkapi berkas sebagaimana tertera dalam surat pengumuman dan itu paling akhir harus sudah diterima di Bagian Kepegawaian MA RI pertengahan bulan mei 2007, termasuk berkas yang harus dilengkapi adalah Surat Keterangan Bebas Narkoba, syukur saya hidup dan Dewasa di dunia pesantren yang potensi Narkoba relatif tidak ada peluang dan kesempatan, andai saja saya pernah bersentuhan dengan yang namanya Narkoba, maka sia-sia lah perjuangan dan usaha keras sejak awal.
Ketika surat-surat administrasi telah lengkap terpenuhi, berkas tersebut saya antar langsung ke Jakarta sehingga bisa memperoleh tanda terima berkas dari Biro Kepegawaian MA RI. Lingkungan Jakarta yang begitu asing bagi saya tentu amat menyulitkan untuk mencari alamat kantor MA yang berlamat di Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-11 yang ternyata berhadapan dengan MONAS, syukurlah ada alumni sukorejo (Eka Riyadi) yang kebetulan teman seangkatan juga di Fakultas Syari’ah yang membantu dan mengantarkan saya ke kantor MA RI, sesampainya disana saya langsung menuju ruang Biro Kepegawaian, dan saya diterima oleh salah satu staf kepegawaian, satu demi satu berkas di cek dan Alhamdulillah telah lengkap semua dan saya mendapat tanda terima yang kemudian tinggal menunggu SK CPNS/Cakim turun dari Sekjend MA RI.
Seminggu lamanya saya berada di Ibu Kota Jakarta, hal itu saya manfaatkan untuk bersilaturrahim dengan teman-teman alumni sukorejo dan juga berekreasi ke tempat wisata untuk sekedar refresing menghilangkan rasa letih dan penat otak dan pikiran. Kemudian saya pulang ke Bali, dan masuk kerja sebagaimana biasa.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 1 November 2007 saya menerima SK CPNS/Cakim MA RI tertanggal 31 Maret 2007 dan TMT 01 April 2007, itu berarti sejak tanggal 01 bulan april 2007 saya secara resmi menjadi Calon Hakim dilingkungan Mahkamah Agung RI satuan kerja Pengadilan Agama Negara, dengan NIP : 22 000 47 46 dan saat ini berubah menjadi NIP : 19830107 200704 1 001.
Sebagaimana layaknya Calon Pegawai yang lain, saya harus melalui tahapan Prajabatan yang dilaksanakan di Balai Diklat Keagamaan Surabaya, tanggal 14 hingga 28 februari 2008 dengan beban biaya akomodasi dan transportasi di tanggung oleh Negara melalui DIPA MA RI. Setelah dinyatakatan lulus Diklat Prajabatan dan telah menjadi PNS murni (yang sebelumnya masih CPNS) kemudian mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim di Pusdiklat MA RI Mega Mendung Bogor selama 40 hari terhitung mulai 12 oktober s/d 22 november 2008 dengan biaya transportasi dan akomodasi ditanggung Negara pula dan dibebankan pada DIPA MA RI.
Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim ini merupakan prasyarat untuk mendapatkan SK Hakim, dan Alhamdulillah Tahap demi tahap telah saya lalui dengan baik, dan dinyatakan lulus. Kemudian pada 13 Juni 2010 SK Hakim Pratama baru turun dan saya ditempatkan di Pengadilan Agama Ketapang wilyah PTA Pontianak Kalimantan Barat dengan dua orang teman sekelas waktu Pendidikan Hakim, yakni Saleh Umar dari Bekasi alumni UIN Jakarta, dan M. Rifaie dari Jambi alumni IAIN Jambi.
Pada tanggal 30 Juni 2010 saya dan teman-teman di lantik oleh Ketua Pengadilan Agama Ketapag yang itu berarti sejak saat itulah saya resmi menjadi Hakim di lingkungan Pengadilan Agama Ketapang Kalimantan Barat. Semoga takdir dari Allah SWT ini bisa menjadi berkah bagi diri saya khususnya, Keluarga, Masyarkat, Agama dan Negara pada umumnya dengan tetap berpegang teguh pada Syari’at, serta bisa menjadi secuil syi’ar dan motifasi bagi sahabat-sahabat tercinta di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Tak lupa, saya ucapkan salam hormat dan terimakasih yang tiada terhigga kepada Pengasuh PP. salafiyah Syafi’iyah dan Wakil Pengasuh beserta seluruh keluarga besar Pondok Pesantren, yang telah mendoakan (dengan tulus) saya sabagai santri dan alumni Sukorejo. Terimakasih kepada para ustadz dan guru yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu sejak kelas IV MISSPa sampai Aliyah, dari SMU sampai di Fakultas, civitas akademika IAII dan Fakultas Syari’ah, Sahabat-sahabat BEM, LPM dan IKSASS, Redaksi buletin Salaf  dan Tim IT Ponpes, semoga semua dedikasi itu dicatat sebagai amal ibadah di sisi-Nya, Amin.
Salam hormat,
Ahmad Hodri, S. HI


1 comment:

Unknown said...

Sangat menginspirasi, salam kenal ya pak

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang beragama Islam, semoga puasa kali ini bisa lebih baik dari yang sebelumnya baik dari amal ibadah ...