Wednesday, December 08, 2010

Potret Ekonomi Syari'ah Dalam Lintasan Sejarah Perbankan Indonesia



Oleh : AHMAD HODRI, S. HI
(Hakim Pratama PA. Ketapang Kalimantan Barat)


A.    AWWALAN
      
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf,
Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syari’ah…..
      
Kurang lebih demikian bunyi mandat dari pasal 49 UU. No. 3 Th. 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang pada tanggal 29 Oktober 2009 lalu telah disahkan perubahan kedua atas Undang-undang tersebut menjadi Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 Agustus 2010 ketika PA sewilayah PTA Pontianak mengadakan Bimbingan Teknis Pola Bindalmin dan Mediasi serta Hukum Acara Peradilan Agama di Singkawang Kalimantan Barat, kala itu salah satu nara sumbernya adalah pakar  Hukum Acara dan sekaligus Hakim Agung, Prof. DR. H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum, dalam sambutan dan arahannya beliau menegaskan bahwa warga peradilan agama -disinyalir oleh sebagian kalangan dan juga oleh praktisi dunia perbankan- tidak kompeten di bidang ekonomi dan perbankan, sehingga mereka lebih sepakat apabila sengketa ekonomi syari’ah diselesaikan oleh peradilan umum atau peradilan niaga, hal itu tentu cukup menggelitik (menantang, red) warga Peradilan Agama untuk terus meyakinkan dan membuktikan bahwa apa yang mereka asumsikan itu sangatlah jauh dari fakta. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Agama harus mampu menjawab keraguan tersebut dengan meningkatkan kapabilitas dan profesionalitas bidang ekonomi islam.
Dalam tulisan ini kami sajikan secara elementer seputar potret dunia perbankan islam serta tentunya bagi -kami- kalangan pemula (Hakim Yunior, red) untuk terus mendalami dan menguasai ekonomi syari’ah dari awal sejarah berdirinya hingga pada tatanan praksis aplikatif serta analisis dan study kasus.
Sudah menjadi keniscayaan bahwa segala bentuk kegiatan muamalah yang terkait dengan ekonomi syari’ah itu menjadi kompetensi absolut dari Peradilan Agama, karena disamping personalitas keislaman yang menjadi peneguh dari kewenangan tersebut, juga dimensi profesionalisme hukum materiil kesyari’ahan yang secara umum dimiliki oleh kader-kader dari insan Peradilan Agama. Pasal yang telah disebutkan diatas sedikit banyak menjadi angin segar bagi dunia peradilan dalam lingkungan peradilan agama khususnya, akan tetapi hal itu perlu ditopang dengan kemampuan tehnis aplikatif seputar dunia perbankan. Begitu banyak tulisan ataupun referensi yang membahas secara detail mengenai perbankan syari’ah, sehingga memudahkan warga peradilan agama (Hakim, red) untuk memperdalam keilmuan dibidang perbankan syari’ah baik secara teori maupun praktik.
Tiada kata untuk apatis dan apriori terhadap ekonomi syari’ah, karena bagaimanapun juga baik langsung ataupun tidak, lambat laun kita akan bersentuhan dan bersinggungan  dengan dunia perbankan syari’ah atau paling tidak lembaga keuangan umat yang operasionalitasnya sesuai dengan prinsip syari’ah, yang hal itu menjadi kewajiban kita untuk menyelesaikan perkara tersebut secara komprehensif dan berkeadilan, oleh karena itu, keilmuan tentang dunia perbankan (bank islam, khususnya) menjadi disiplin ilmu yang juga harus melekat pada warga peradilan agama.
B.    PENGERTIAN BANK dan BANK SYARI’AH
        1.     Pengertian Bank
Dunia perekonomian yang populer diistilahkan dengan bank[1] mempunyai variasi dan beragam makna, namun pada esensinya tetap dalam satu tujuan yang implementasi usahanya menspesialisasikan dalam bidang jasa keuangan[2]. Bagi masyarakat-masyarakat yang hidup di Negara maju, seperti di Eropa, Amerika, dan  Jepang, bank merupakan suatu kebutuhan dasar yang harus di penuhi. Bank sebagai mitra dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari ataupun sebagai tempat untuk melakukan berbagai transaksi yang berhubungan dengan keuangan[3]. Peranan dan fungsi lembaga keuangan bank sangat signifikan, sehingga tidak berlebihan bila bank dianggap sebagai “nyawa” didalam mengembangkan roda perekonomian suatu Negara[4].
Istilah Bank berasal dari bahasa Italia, Bank. Yang mana pada awalnya hanya merupakan kegiatan para penukar uang (Money Changer) di pelabuhan-pelabuhan, yang banyak kelasi kapal dan para wisatawan yang datang dan pergi. Mulanya kegiatan itu hanya dengan cara meletakkan uang penukar di atas meja tempat-tempat umum. Meja tempat meletakkan uang itulah yang di sebut dengan Banko. Dengan demikian, istilah Bank merupakan pengembangan lebih lanjut dari istilah Banko, yang sebenarnya di maksudkan sebagai simbol bagi alat penukaran[5].
Para pakar keuangan dalam dunia perbankan pun tidak jauh berbeda didalam memberi pengertian tentang bank, didalam “Ensiklopedi Ekonomi Keuangan dan Perdagangan”, A. Abdurrahman menjelaskan bahwa bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan  terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan-perusahaan dll. Dalam Undang-undang no 14 tahun 1967 pasal 1 di sebutkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang[6].
Pada zaman Babylonia, kira-kira tahun 2000 SM telah dikenal bank, yang meminjamkan emas dan perak dengan tingkat bunga 20 % setiap bulan, yang populer dengan nama “Temples of Babylon”. Setelah itu, pada tahun 500 SM menyusul di Yunani, yang dikenal dengan “Greek Temple” yang memungut simpanan dan meminjamkannya kembali ke masyarakat. Setelah dari Yunani terus berkembang ke Romawi yang operasinya lebih luas, yaitu tukar menukar mata uang, deposito, kredit, dan transfer. Perkembangan dunai perbankan pun semakin meluas keseluruh penjuru daerah, sehingga berkembang ke Asia Barat (sekarang Timur Tengah) sampai belahan dunia Eropa.
        2.    Perkembangan Bank di Indonesia[7]
               a.    Perkembangan bank sebelum perang dunia II
Pada waktu Nederland Indie, di Indonesia terdapat tiga bank, yaitu (1) De Javasche Bank, didirikan pada tangal 10 Oktober 1827, yang kemudian di nasionalisir oleh pemerintah RI pada tanggal 6 Desember 1951 dan akhirnya menjadi Bank Sentral berdasarkan UU no 13 tahun 1968. (2) De Algemene Volkscredietbank, didirikan pada tahun 1934 di Batavia (Jakarta) sekarang bank ini menjadi Bank Rakyat Indonesia. (3) De Postpaarbank, didirikan pada tahun 1898 yang selanjutnya diganti dengan Bank Tabungan Pos berdasarkan UU no 9 Drt tahun 1950 dan terakhir dengan UU no 20 tahun 1968 menjadi Bank Tabungan Negara.
Selain ketiga bank tersebut masih ada bank lain yang tidak mendapat campur tangan pemerintah, seperti Bank Nasional Indonesia (Surabaya), Bank Nasional ”Abuan Saudagar” (Bukit Tinggi, 1932), N.V Bank Bumi (Jakarta), Bank Boemi dll. Bank-bank milik Belanda pun cukup banyak, seperti Nederland Handels Maatschappij (NHM) tahun 1824, National Handelsbank (NHB) tahun 1863, De Esxcomptobank N.V, tahun 1857. Bank-bank milik Inggris, seperti The Chartered Bank of India, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (Hongkong). Bank-bank milik Jepang, diantaranya The Bank Of Taiwan : The Yokohama Species Bank dan The Mitswe Bank. Bank-bank milik China seperti The Overseas Chinese Banking Corporation (Singapura), The Bank Of China (Peking), N.V Batavia Bank (medan), N.V Bankvereeneging Oei Tiongham (Semarang).
               b.    Perkembangan bank setelah  perang dunia II
Bersamaan dengan kekalahan Jepang, Belanda berusaha kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggeris, dan terjadilah perang kemerdekaan melawan penjajah. Pada akhirnya terbentuk dua wilayah daerah Republik yang dikuasai RI dan daerah federal yang diduduki oleh Belanda.
Didaerah Republik berdiri Bank Negara Indonesia pada tanggal 05 Juli 1946 dengan Perpu no. 02 th. 1946 kemudian bernama BNI pada tahun 1946. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) pada tanggal 22 Februari 1946. Disamping dua Bank tersebut terdapat Bank-bank swasta seperti Bank Surakarta MAI (Maskapai Andil Bumi Putera) Th 1945 di Solo, Bank Indonesia th. 1946 di Palembang, Bank Dagang Nasional Indonesia th. 1946 di Medan, IBC (Indonesion Banking Corporation) th. 1947 di Yogyakarta yang kemudian bernama bank Amerta, Bank Nasional di Surabaya.
Perbankan di daerah Federal seperti N.V Bank Sulawesi di Manado tanggal 08 Februari 1946, N.V Bank Perniagaan Indonesia tanggal. 1948, Bank Timur N.V di Semarang tanggal 24 September 1949 yang diganti dengan nama PT. Bank Gemari kemudian melakukan merger dengan Bank Central Asia (BCA), Bank Dagang Indonesia N.V di Banjarmasin tanggal 12 Oktober 1949, Kalimantan Traiding Corporation N.V di Samarinda tannggal 18 Februari 1950 yang kemudian melakukan merger dengan Bank Pacifik
        3.    Pengertian Bank Syari’ah
Sebagai alternatif terhadap sistem ekonomi sosialis dan kapitalis, maka sejak tahun 1970-an gerakan Islam ditingkat Nasional telah memasuki bidang ekonomi dengan diperkenalkannya sistem ekonomi Islam[8]. Kecenderungan dan transaksi ini dipengaruhi oleh petunjuk yang secara eksplisit termaktub didalam Al-Qur’an tentang keharaman praktek ekonomi yang berbau ribawi, disamping itu peristiwa krisis minyak pada tahun 1974 dan 1979 yang menimbulkan kekuatan finansial berupa petro dollar pada Negara-negara Timur Tengah dan Afrika.
Bank Syari’ah yang lazim disebut dengan Bank Islam adalah Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam,  dan tatacaranya mengacu kepada ketentuan al-Qur’an dan Hadits[9]. Karena karakter dan kecenderungan Bank Syari’ah harus sesuai dengan landasan hukum Islam, maka merupakan suatu keniscayaan bahwa Bank Syari’ah selalu berupaya merealisasikan nilai-nilai ekonomi Islam dalam aktifitas nyata masyarakat, yaitu dengan mendirikan lembaga-lembaga keuangan yang melakukan operasional berdasarkan syari’ah[10].
Peran perbankan Syari’ah sebagai lembaga perantara (intermediary) antara unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (devisit unit) tetap mengedepankan hubungannya dengan nasabah sebagai patner (kemitraan) antara penyandang dana (sohibul mal) dengan pengelola dana (mudharib)[11].
Namun demikian, berbagai kesulitan insentif sangat mengkhawatirkan yang dihadapi oleh bank-bank Islam atau para deposannya dari segi teori intermediasi[12] keuangan konvensional, apakah sistem tersebut (sistem syari’ah) dapat berjalan secara optimal atau tidak, oleh karena itu perlu dirumuskan secara efektif tentang biaya intermediasi, resiko para deposan, bentuk perjanjian, agenda dan aturan-aturan agama yang mampu mengakomodir permasalahan yang akan muncul secara praktis.
        4.    Perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia
Peristiwa krisis ekonomi yang melanda dunia dan telah berimplikasi terhadap runtuhnya sistem perbankan nasional ternyata nyaris tidak berpengaruh kepada perbankan syari’ah yang pada waktu itu hanya memiliki satu bank umum, hal ini dikarenakan bank syari’ah menggunakan sistem bagi hasil/bagi untung, dimana keuntungan operasi bank dibagikan langsung kepada nasabah sehingga tidak mungkin terjadi negative spread yang kemudian bank syari’ah dijadikan salah satu model restruturisasi perbankan saional[13]
Belajar dari kekurangan dan kelemahan (kegagalan) sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, semakin penting untuk menerapkan sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada kesejahteraan masyarakat secara utuh. Fluktuasi ekonomi yang semakin tidak menjanjikan membuat kalangan masyarakat (khusunya ekonomi menengah kebawah) kehilangan kepercayaan terhadap praktek ekonomi konvensional. Namun ada beberapa pandangan yang mensinyalir bahwa keberadaan sistem ekonomi syari’ah tidaklah dapat dipisahkan dengan sistem kapitalis ataupun sistem sosialis dengan berbagai rasionalisasi dan argumentasi bahwa tidak ada prinsip dikotomis antara syari’ah dengan karakter kapitalis maupun sosialis[14]
Kondisi sosio-ekonomi dewasa ini bersama-sama dengan degenerasi moral menggerogoti dasar-dasar solidaritas Islam. Sejumlah lembaga yang ada merupakan legalisasi dunia feodal Islam atau kolonial masa lalu yang sebagian atau keseluruhan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, masih sering terjadi eksploitasi ekonomi layaknya sistem kapitalisme. Kebanyakan orang tidak mengetahui dan menyadari tuntutan Islam terhadap peningkatan karakter dan kepribadian, ada gejala ketidak pedulian, ketidak tulusan, korupsi, tipu daya dan degenerasi[15].
Sejarah telah banyak memberikan pelajaran tentang aplikasi sistem perekonomian yang lebih dinamis, tak terkecuali dizaman Rasulullah, fungsi perbankan secara optimal telah diinternalisasikan ditengah komunitas masyarakat yang plural. Pada waktu itu sudah berlaku proses penyimpanan uang, peminjaman dan jasa berupa pengiriman uang melalui media lembaga keuangan bank yang dilakukan berdasarkan akad yang sesuai dengan Syari’ah[16].
Prospektif  perbankan syari’ah memang terlihat dari corak dan etika kerja yang cukup berbeda dengan dunia konvensional, pada zaman Umaiyah dan Abbasiyah, para akuntan dan auditor berpegang pada enam prinsip akuntansi, Pertama ; semua urusan keuangan harus ditulis dengan jelas, terang, dan teliti. Kedua ; semua catatan harus dibuat berdasarkan bukti yang shahih. Ketiga ; harta disimpan ditempat khusus. Keempat ; pekerjaan dilakukan oleh orang yang dapat dipercaya. Kelima ; segala account hendaklah diperiksa oleh orang yang bukan acoount itu. Keenam ; stock selalu di hitung pada waktu tertentu[17].
Budaya kerja personalitas didunia perbankan syari’ah pun selalu memperhatikan tata aturan agama, yang diantaranya termasuk dalam sifat yang di contohkan dalam prilaku keseharian Rasul, seperti harus memiliki kejujuran dan selalu yakin dalam berbuat dan berucap (Shiddiq), Konsisten dalam iman dan nilai-nilai yang baik (Istiqomah), mengerti, memahami, dan menghayati segala hal yang menjadi tugas dan kewajiban (Fathanah) sebagaimana yang dicontohkan Nabi Yusuf AS, hal ini  tergambar dalam al Qur’an Surat Yusuf : 55 yang artinya “berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”, Disamping kecerdasan, juga tanggungjawab dalam melaksanakan tugas yang menjadi prioritas (Amanah), mengajak sekaligus memberi contoh kepada orang lain untuk melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari[18].
Perkembangan perbankan syari’ah mulai nampak sejak 1975 dengan didirikannya Dubai Islamic Bank  yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah[19]. Hingga awal abad ke 20, Bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi baik dari bidang hukum (fiqh) maupun bidang ekonomi[20]. Kesadaran bahwa Bank Islam adalah solusi masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial telah muncul, namun disatu sisi masih pesimis dengan keberadaan sistem bunga yang nyaris tidak dapat kita hindari. Rasa pesimis tersebut tidaklah menjadi kendala yang signifikan bagi para pakar ekonomi Syari’ah, dengan berbagai uji coba dari bentuk proyek yang sederhana hingga yang berskala besar.
Lambat laun namun pasti, akhirnya lembaga unit desa telah beroperasi di Mesir tahun 1960-an, yang sekaligus merupakan tonggak sejarah perkembangan perbankan Islam, yang dikenal dengan nama Mit Ghamr Bank, binaan dari Prof. Dr. Achmad Najjar[21], dengan praktek local saving bank (bank simpanan lokal). Pada dekade 1970-an, Negara-negara organisasi konferensi Islam berkumpul di Karachi Pakistan, untuk mengusulkan :
1.          Mengganti sistem keuangan berdasarkan bunga dengan satu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian (loss and profit sharing).
2.          Pembentukan perwakilan-perwakilan khusus asosiasi bank-bank Islam (Association of Islamic Banks)[22].
Dua tahun kemudian lahir Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank) yang merupakan tindak lanjut dari rekomendasi yang lahir dari konferensi tersebut[23]. Pada tahapan proses riset dan pelatihan untuk pengembangan ekonomi Islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum, maka IDB membentuk lembaga yang berupa IRTI (Islamic Research And Training Institute).
Upaya intensif pendirian bank Islam (yang dalam istilah perundang-undangan disebut Bank Syari’ah) di Indonesia dapat ditelusuri pula sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama’ waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0 % (tanpa bunga)[24].
Faktor pendorong pertumbuhan perbankan syari’ah yang cukup dominan adalah dilihat dari segi kejelasan visi misi, sasaran, dan komitmen untuk menyempurnakan dan melengkapi ketentuan operasional yang sesuai dengan karakteristik usaha bank syari’ah dan nilai-nilai dasar ekonomi Islam (pemilikan, keseimbangan, dan keadilan) yang merupakan nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam[25].
Dengan didirikannya International Islamic Financial Market (IIFM) pada tahun 2002 juga menjadi salah satu penopang perkembangan dunia perbankan yang berdasarkan syari’ah. Disamping itu, kehadiran lembaga Islamic Financial Service Board (IFSB) pada awal November 2002 juga diharapkan mampu memberikan panduan best practices dalam pengelolaan risiko dan operasional bank syari’ah[26], dan untuk lebih menunjang efektifitas dari zakat, pengharaman riba dan masalah norma, maka perlu mekanisme yang tepat, sistem motivasi yang kuat, restrukturisasi yang efektif dan peran positif pemerintah[27].
Dewasa ini perkembangan perbankan Islam cukup menakjubkan, dari segi produk-produk yang ditampilkanpun cukup prospektif dan marketable, seperti halnya asuransi, pasar modal (yang akhirnya muncul fund manager - fund manager Islam), jasa dengan dikeluarkannya Islamic Indeks oleh Dow Jones, yang memuat indeks saham yang diperdagangkan secara Islami untuk memberikan keuntungan sosio-ekonomi bagi orang-orang Islam, jadi bukan hanya sekedar maksimalisasi keuntungan sebagaimana yang diharapkan oleh perbankan konvensional[28].
Keberadaan budaya dan kultur Indonesia nampak merupakan suatu peluang besar untuk menerapkan sistem ekonomi Syari’ah. Di Indonesia (secara umum, didunia) kehadiran Bank Syari’ah (Islam) tidak terlepas dari pandangan tentang keharaman riba (bunga bank) yang telah dibenci (diharamkan) bukan hanya dari kalangan umat Islam namun dari berbagai penganut kepercayaan baik Hindu, Yahudi maupun Kristen telah spakat untuk tidak menerapkan pola dan dan unsur riba[29], tidak seperti sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang cenderung menjadi lahan subur bagi lahirnya materialisme dan hedonisme, dimana orang bekerja hanya untuk mengejar materi dan simbol-simbol yang tidak pernah mencapai kepuasan[30].
Reaksi keras pertama kali dalam rangka mengcounter terhadap persoalan bunga bank adalah terdapat dalam tulisan KH Mas Mansur di Majalah Tabliq Siaran pada tahun 1937, bahwa bunga bank menjadi permasalahan yang sangat serius bagi umat Islam dan merupakan kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan dalam kehidupan[31], padahal Secara makro ekonomi, pengembangan bank syari’ah di Indonesia memiliki peluang besar karena pangsa pasarnya yang luas sejurus dengan mayoritas penduduk Indonesia, tinggal kesadaran kita, sanggupkah menggeluti bisnis dan dunia perbankan tanpa memiliki ketergantungan terhadap penghasilan dari bunga bank.
Perkembangan bank syari’ah di Indonesia memang terkesan lamban bila dibanding dengan Negara Muslim lainnya. Namun pertumbuhan lembaga ini akan terus mengalami peningkatan, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pengamat dari hasil risetnya, yang mengatakan bahwa total aset bank syari’ah di Indonesia akan mencapai 2850 % selama 8 tahun atau tumbuh rata-rata 356,25 % tiap tahunnya[32].
Deregulasi finansial di Indonesia telah memberikan iklim bagi tumbuh dan berkembangnya bank syari’ah di Indonesia. Pada tahun 1991 telah berdiri dua bank syari’ah ; BPRS Dana Mardhotillah, BPRS Berkah Amal Sejahtera, yang keduanya berada di Bandung. Pada tahun 1992, telah beroperasi Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), yang diikuti oleh BPRS Bangun Drajad Warga dan BPRS Margi Rizqi Bahagia di Yogyakarta. Reaksi selanjutnya muncul untuk merevisi undang-undang no 7 tahun 1992 menjadi undang-undang no 10 tahun 1998, sehingga memiliki hikmah tersendiri bagi dunia perbankan nasional untuk membuka kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan pada prinsip syari’ah.
C.        AKHIRAN
                        Rating dari kasus atau perkara ekonomi syari’ah yang masuk ke Pengadilan Agama memang tergolong perkara yang jarang terjadi -kalau tidak bisa diakatakan langka-, namun hal itu bukan alasan untuk menegasikan eksistensi dari ekonomi syari’ah. Semoga kredibelitas dan kapabalitas para Hakim Pengadilan Agama dibidang ekonomi syari’ah bisa menjadi warna keilmuan sejalan dengan kemampuan dibidang Hukum Perdata dan Hukum Acara serta Hukum Materiil yang selama ini menjadi identitas dunia peradilan. Diskusi, seminar, lokakarya -atau apapun namanya- tentang dunia ekonomi (syari’ah) sangatlah penting untuk terus ditingkatkan secara berkesinambungan.
                        Akhirnya, kritik, saran serta kontribusi ide konstruktif senantiasa kami harapkan.
Wallahu A’lam



[1] Bank menurut undang-undang no 10 tahun 1998 ps 1 (2) adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kemasyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, lihat juga “Hukum Perbankan”, Sembiring Sentosa, SH,. MH. Mandar Maju 2000 Bansun, hal : I
[2] Al Muslih, Prof Dr Abdullah. Prof Dr Shalah ash Shawi, “Fiqh Ekonomi Keuangan Islam”, Darul Haq Jakarta 2004, hal : 411.
[3]  Kasmir, SE. MM, ”Pemasaran Bank”, Rencana Jakarta, April 2004, hal : 7
[4]  Ibid, hal : 8
[5]  Suhrawardi, K Lubis. “Hukum Ekonomi Islam”, Sinar Grafika Jakarta, hal : 38
[6] Suyatno, Drs Thomas, cum suis, ”Kelembagaan Perbankan”, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, September 1996, hal : I
[7]  Ibid, hal : 4
[8] Karim, Adiwarman Azwar, “Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan”, IIIT Indonesia, Februari 2003, hal : XVIII
[9]  Karnaen, H A Perwataatamaja, Drs MPA. H. Muhammad Syafi’i Antonio, M. Ec. “Apa dan Bagaimana Bank Islam”, PT Dhana Bakti Prima Yasa,Yogyakarta 1992, hal : 1
[10] Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah, ”Bank Syari’ah, Produk dan Implementasi Operasioanal”, IKAPI Yogyakarta 2003, hal : 20
[11]  Sudarono, Heri, ”Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi”, Ekonisia Yogyakarta 2004, hal : 56
[12] Lewis, Mervvyn dan Latifa Algaoud, ”Terjemah Islamic banking”, Serambi Ilmu Semesta Jakarta, Oktober 2003, hal : 125
[13]  Yafie, KH Ali dkk, ”Fiqh Perdagangan Bebas”, Teraju, tt, hal : 204
[14]  Hakim, Lukman, Cum Suis, “Syari’ah Sosial Manuju Revolusi Kultural”, Unmuh Malang, Oktober 2004, hal : 180
[15] Chapra, M Umar, ”Al Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil”, PT Dhana Bakti PrimaYasa Yogyakarta 1997, hal : 201
[16]  Op. cit, Adiwarman, hal : 22
[17] Karim, Adiwarman Azwar, SE,. MBA,. MAEP, “Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer”, Gema Insani Press Jakarta, Cetakan Pertama Rajab 1422 H/Oktober 2001 M, hal : 195. Bandingkan dengan peluang perbankan sayari’ah, Abdullah Amin dkk, ”Meretas Jalan Baru Ekonomi Muhammadiyah”, Tiara Wacana Yogya, Juli 2000, hal : 85
[18]   Hafifuddin, Didin,. Hendri Tanjung, “Manajemen Syari’ah Dalam Praktek”, Gema Insani Press Jakarta, Cetakan Pertama Sya’ban 1424 H/Oktober 2003 M, hal : 72
[19] Marthon DR Said Saad, “Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global”, Zikrul Hakim IKAPI Jakrta Timur, Cet Pertama 1422 H / 2001 M, hal : 125
[20]  loc. Cit, Tim Pengemabangan Perbankan
[21] Antonio, Muhammad Syafi’i, “Bank Syari’ah dari Teori ke praktek”, Gema Insani Press, Jakarta 2001, hal : 19
[22]  Ibid, hal : 20
[23]  Muslimin, H. Kara, “Bank Syari’ah di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah”, UII Press Yogyakarta 2005, hal : 65
[24]  Arifin, Drs Zainul, MBA, ”Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah”, Pancoran Jakarta, Agustus  2003, hal : 6
[25]  Ali, Mohammad Daud, “Sistem Ekonomi Islam : Zakat dan Wakaf”, Universitas Iindonesia Pres Jakarta 1988, hal : 9
[26] Hamidi, M Lutfi, ”Jejak-jejak Ekonomi Syari’ah”, Senayan Abadi Publishing Jakarta Selatan, Mei 2003, hal : 17
[27] Chapra, M Umar,  “Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer”, Rislah Gusti Surabaya, hal : 250
[28] Op. cit, Muslim, hal : 69. baca : Shalabi, Prof. Dr Ahmad, “Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam”, Amzah, September 2001, hal : 400, yang mengulas tentang asas keuangan yang menjadi sumber utama kejayaan bank, yaitu persediaan mata uang, keuntungan dan jaminan.
[29] Parmudi, Drs Mochammad, MSi, “Sejarah dan Doktrin Bank Islam”, KUTUB Yogyakarta, Agustus 2005, hal : 26-42
[30] Loc. Cit, Tim Pengembangan Perbankan. Baca : Arifin, Drs Zainul, MBA, ‘Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Alfabet-anggota IKAPI Jakarta, Agustus 2003, hal :6
[31]  Rahman, Afzalur, “Doktrin Ekonomi Islam”, PT Dhana Bakti Prima Yasa Yogyakarta, cet II 2002, hal : 76
[32]  Op. cit, Adiwarman, hal : 29

No comments:

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang beragama Islam, semoga puasa kali ini bisa lebih baik dari yang sebelumnya baik dari amal ibadah ...