Thursday, December 09, 2010

Keadilan Hakim, Gerbang Depan Peradilan


Oleh : Ahmad Hodri, S. HI[1]

Pada masa pemerintahan Umar Bin Abdul ‘Aziz, kami mengembalakan kambing
di daerah Karman, maka kambing dan serigala bisa hidup berdampingan
dengan aman di tempat yang sama. Pada suatu malam kami dikejutkan oleh seekor
serigala yang menyerang kambing.  maka aku berkata, “kami menduga bahwa laki-laki
yang sholeh itu (Umar Bin Abdul ‘Aziz) telah meninggal”, lalu kami mencari berita
dan mendapatkan informansi bahwa benar Ia telah meninggal malam itu
- Musa bin al A’yun-
I.          AWWALAN
            Dari penggalan kisah singkat diatas, banyak mutiara hikmah yang dapat kita petik, diantaranya, tentang kehidupan seseorang yang senantiasa menjadi berkah bagi  lingkungan -tidak hanya- orang lain, namun juga bagi kehidupan binatang yang berada ditengah kehidupan orang tersebut (Umar Bin Abdul ‘Aziz, red). Mengapa binatang buas dan pemangsa yang hidup berdampingan dengan binatang lemah bisa hidup damai dan rukun, hal ini tidak lain karena aura keadilan dari pemimpin dan figur orang sholeh senantiasa menjadi aroma yang menyedapkan bagi kehidupan bermasyarakat, sehingga bukan hanya manusia yang merasa nyaman dan tentram dengan kepemimpinan (Umar bin Abdul Aziz) tersebut, akan tetapi  binatang yang satu dengan yang lainnya juga merasa nyaman tanpa ada kekacauan dan perselisihan yang timbul[2].
            Begitulah apabila kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin berpihak dan membela serta berada pada garis depan kebenaran nan berkeadilan, maka rakyat dan masyarakat merasa tentram, tak kan ada gejolak dan pertumpahan darah.
Pesan moral yang fundamental dari narasi diatas adalah bagaimana kita mampu memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi (baik) diri kita sendiri, orang lain ataupun keluarga dan kerabat serta segenap masyarakat yang selalu meridukan keadilan.
Terkadang manusia lupa, bahwa ucapan, sikap dan prilaku keseharian telah menimbulkan bekas, dampak dan ekses yang (mungkin) negatif (ketidaknyamanan, red) bagi orang lain. Salah satu faktor dan penyebabnya adalah karena sumber utama inspirasi manusia, yaitu hati[3], tidak difungsikan sesuai dengan porsi dan bagian masing-masing, ketika suara hati tidak sesuai dengan implementasi dari pola gerak organ tubuh, maka bisa disinyalir berarti kita telah tidak melaksanakan mandat keadilan yang telah dititipkan dipundak kita. Perlakuan ataupun perkataan yang seharusnya sejalan dengan suara nurani kita, ternyata realitas menyuguhkan fakta yang berbeda, perkataan dan perbuatan telah jauh menyimpang dari bisikan hari nurani.
            Adil, merupakan untaian kata yang terlalu mudah terlontar dari lisan kita, baik ketika kita berkomunikasi dengan keluarga, teman, kerabat atau siapapun, namun untuk sampai pada tatanan real dan aplikatif, ternyata kata tersebut tidak semudah waktu diucapkan. Tanpa disadari, ucapan dan perbuatan (yang beraroma) ketidakadilan senantiasa mewarnai nuansa kehidupan kita. Oleh karena itu, ada baiknya bila kita selalu introspeksi diri, untuk selalu menyelaraskan perkataan dan perbuatan, demi tercapainya keadilan yang holistik. Keadilan yang sejati biasanya bersumber dari keberanian kita untuk menyuarakan kata hati.
II.         KEADILAN MANDAT DARI TUHAN
            Kata Adil sering diistilahkan dengan “Isholu al haq ila shoohibihi min aqrobi al turuqi ilaihi”. Banyak ayat dalam al Qur’an yang mengamanatkan tentang keadilan, salah satu ayat yang secara eksplisit memerintahkan kepada kita untuk berbuat adil adalah surat al Ma’idah ayat 8. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa kita harus berbuat adil dalam keadaan bagaimanapun, meski kita dihadapkan pada orang yang telah kita benci, namun terhadap orang tersebut, keadilan harus tetap kita tegakkan sebagaimana terhadap orang lain yang tidak kita benci. Perlakukan dan dudukkan mereka di majelis secara sama, pandang mereka dengan pandangan yang sama, agar orang yang terhormat tidak melecehkan kita, dan orang yang lemah tidak merasa teraniaya[4].
Ending dari pesan ayat tersebut adalah muara ketakwaan, karena ketika kita telah mampu menerapkan keadilan Tuhan, maka status dan predikat takwa akan kita peroleh dari Yang Maha Kuasa. Allah SWT mengatakan dalam firman-Nya bahwa adil itu amat dekat dengan takwa. Sedangkan takwa sendiri adalah suatu sifat yang harus melekat pada setiap insan yang beriman dan islam, hanya dengan takwa kita akan tulus ikhlas melakukan segala bentuk perintah Allah SWT dan menjauhi segenap larangan-Nya.
Betapa penting dan berharganya keadilan, sehingga dalam ayat tersebut , Allah SWT merangkainya dengan  unsur ketakwaan, ….I’diluu huwa aqrabu li al taqwa…. (….berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…..), berarti nalar akan berbicara, jalan yang dekat untuk mencapai ketakwaan sejati adalah dengan menegakkan keadilan Tuhan secara utuh tidak secara parsial. Demikian al Qur’an menyebutkan dalam surat al Mai’dah ayat 8.
III.        ADIL DALAM ISLAM              
            Islam adalah agama yang toleran, inklusif dan selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan, Islam senantiasa menjadi rahmat bagi segenap penghuni alam semesta dan jagat raya ini (rahmatan lil ‘alamain) , sehingga umat manusia merasa aman dan nyaman bernaung dibawah panji keislaman.
Sepanjang sejarah lahirnya Islam, yang di bawa Rasulullah SAW, setelah bangkit untuk menyampaikan sebuah risalah yang sekaligus bertindak sebagai Hakim dan Rasulullah merupakan sosok yang tampil bijak dan gagah di tengah-tengah gerumunan masyarakat yang beraneka ragam (pluralistik).
Catatan pertama tentang tindakan keadilan diplomatis Nabi Muhammad SAW[5], kita jumpai jauh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, tepatnya saat beliau berusia tiga puluh lima tahun, yaitu ketika di Mekkah muncul percekcokan tatkala rekonstruksi ka’bah -satu tempat ibadah yang paling penting yang diwarisi Quraisy dari Nabi Ibrahim-, semua suku dan kabilah berselisih tentang siapa yang berhak untuk meletakkan Hajar Aswad disisi ka’bah, masing-masing suku dan kabilah merasa memiliki hak dan tidak ada satu suku atau kabilah pun yang mau mengalah dalam peletakan Hajar Aswad tersebut, meski nyawa akan menjadi tumbal dari komitmennya. Akhirnya timbul kesepakatan dari saran seorang yang paling tua dari suku Quraisy  -Abu Umayyah bin al Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzu- , bahwa orang pertama yang masuk ka’bah diesok harilah yang berhak untuk memberi solusi dan menentukan siapa yang patut untuk meletakkan Hajar Aswad.
Kesokan harinya, tatkala fajar merekah, ternyatalah Muhammad SAW memasuki ka’bah, maka mereka berkata “inilah orang yang terpercaya (al Amien) yang akan menjadi penengah diantara kita, kami ridla kepadanya”. Tugas yang cukup berat bagi siapapun yang menerimanya, karena taruhannya (apabila keadilan tidak ditegakkan) adalah pertumpahan darah antar suku dan golongan. Namun dengan tenang dan bijak Muhammad SAW meminta sehelai selendang, kemudian beliau mengambil hajar aswad dan meletakkannya ditengah-tengah selendang tersebut. Beliau segera meminta semua kepala suku dan kabilah untuk memegang ujung kain dari selendang itu dan mengangkatnya secara bersama-sama, keputusan itu telah berhasil menyatukan semua peminpin suku dan kabilah untuk membawa Hajar Aswad kedalam Ka’bah dan meletakkannya ditempat semula.
Merasa tentram, nyaman dan damailah penduduk Mekkah, karena antara yang satu dengan yang lainnya merasa memiliki tempat dan mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama sesuai dengan porsinya masing-masing, tanpa ada marginalisasi dan diskriminasi suku atau kabilah, itulah kecerdasan figur seorang Muhammad SAW dalam memecahkan suatu permasalahan masyarakat.
IV.        KEADILAN DAN PERADILAN DI INDONESIA
Peradilan di Indonesia melaksanakan tugas pokok dan fungsinya berpijak atas KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Vide Ps. 2 UU. No. 48/2009 jo Ps. 57 UU. No. 7/1989)[6]. Namun pertanyaan yang menggelitik kita, apakah produk dunia peradilan, ketika Hakim telah mengetok palu, sudah mencerminkan keadilan yang bisa dipertanggungjawabkan di sisi Tuhan Yang Maha Esa, hal ini hanya bisa dijawab oleh kedalaman hati nurani. Sejalan dengan hukum alam, salah satu pihak yang telah berperkara ke pengadilan, ketika tuntutan hak dan permintaannya -meski melawan hukum- tidak dipenuhi, maka akan timbul kekecewaan yang akan menganggap bahwa pengadilan telah berbuat dzalim dan tidak adil, namun berbeda halnya dengan pihak yang lain -yang merasa hak dan kepentingannya terpenuhi- akan mengatakan bahwa pengadilan itu cukup adil didalam memutus dan menyelesaikan perkara. Terlepas dari persepsi dan asumsi sepihak itu, sepatutnya pengadilan tidak pandang bulu dalam memutus dan menyelesaikan suatu perkara, sebagaimana dilambangkan dengan sebuah patung Justitia[7].
Kecerdasan dalam mengkonstatir, kualifisir serta mengkonstitusi perkara merupakan hal yang niscaya bagi insan peradilan (baca : Hakim), bukankah untuk menciptakan keadilan yang holistik, maka kecerdasan dibidang hukum menjadi prioritas utama disamping kecerdasan mengolah hukum yang hidup di tengah masyarakat. Vonis yang telah kita jatuhkan secara esensial akan kita pertanggungjawabkan (baik) pada diri sendiri dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban kelak di hadapan Tuhan[8], lebih-lebih kepada para pihak yang keadilannya merasa digadaikan. Dalam mengadili, Hakim tidak sekedar mempertemukan suatu peristiwa hukum dengan aturan hukum tertentu, Hakim wajib menemukan hukum yang dapat menjamin kepuasan pencari keadilan dan berusaha agar putusan dapat menciptakan berbagai keseimbangan dalam masyarakat[9].
Untuk melahirkan suatu keadilan terkadang kita harus keluar dari garis teks perundang-undangan, senyampang masih dalam rel substansi dan nilai-nilai yang terkandung dalam teks (baca : Hukum tertulis dan tidak tertulis), bahkan Hakim tidak dibenarkan menerapkan suatu aturan hukum yang secara nyata akan menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan atau mereka yang akan menerima akibat suatu putusan[10]. Sayyidina Umar RA telah memberi teladan yang cukup menarik dalam penyelesaian perkara umatnya yang mencuri, pada waktu itu yang berlaku adalah hukum yang berdasarkan syari’at, Nash secara an sich, namun dalam penerapan hukumnya beliau tidak melakukan potong tangan sebagaimana yang tersurat dalam nash al Qur’an, akan tetapi memberi ganjaran hukuman yang laik dan setimpal dengan melihat latar belakang serta motivasi dari pencurian yang dilakukan orang tersebut. Hasil yang diperoleh dari kebijakan beliau itu ternyata juga sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al Qur’an, yaitu memberikan efek jera serta efek takut untuk melakukan perbuatan yang dilarang.
Keadilan di meja hijau pun demikian, demi untuk tetap memberikan yang terbaik bagi pencari keadilan, maka nilai-nilai hukum harus senantiasa digali dan direduksi dengan berbagai interpretasi teks, untuk kemudian disenyawakan dengan perkara-perkara yang akan diadili. Bukankah kita tidak terlalu muda untuk memulai berfikir mendalam dan tidak terlalu tua untuk mengakhirinya. Ketika (keterbatasan) teks tidak memberikan jalan keluar, maka optimalisasi fungsi nalar dan logika menjadi pilihan untuk melakukan ijtihad yang sesuai dengan syarat dan ketentuan serta berdasarkan tuntunan dan kaedah dalam Islam demi terciptanya rasa aman dan nyaman bagi justitiable (masyarakat pencari keadilan).

V.         AKHIRAN
            Hanya dengan hati yang jernih, lapang dan terbuka, kebenaran dan keadilan akan terwujud. Mengutip salah satu Risalah Umar, “bahwa kebenaran itu hanya berada didalam jiwa yang tenang dan niat yang bersih”. Semoga dengan berbagai media dan optimalisasi sistem tehnologi informasi (TI) menjadi salah satu centrum dari fungsi kontrol, pengawasan dan pembinaan Mahkamah Agung, dan semakin memantapkan langkah dunia peradilan untuk terus berbenah dan berpacu (tidak hanya) pada tatanan formalistik pelaporan belaka, namun lebih pada unsur fundamental tugas pokok dan fungsi peradilan itu sendiri.
            Akhirnya, dengan mengutip pesan dari Nabi Muhammad SAW, “Aku titipkan para pemuda kepadamu, mereka lebih mudah tersentuh hatinya (ketimbang yang tua), lihat saja !, Aku diutus oleh Allah sebagai pemberi peringatan, yang menerima ajaranku adalah para pemuda, sementara yang tua menentangku”. Oleh karena itu, kritik konstruktif dan saran obyektif senantiasa kami harapkan sebagai kader dan generasi penerus insan peradilan, sehingga obsesi peradilan menjadi patron Negara yang “Baldatun Toyyibatun wa Rabbun Ghafur” akan menjadi suguhan realita.
-Wallahu A’lam Bisshowab-


[1]  Hakim PA. Ketapang Kalimantan Barat
[2]  As Suwaidan, DR Thariq M., IR. Faisal Umar Basyarahil, “Melahirkan Pemimpin Masa Depan”, Jkt 2005, hal : 197
[3]  Fungsi “Hati manusia” dalam Islam amat berperan penting dan cukup signifikan, sebagaimana Hadits Nabi yang mengatakan bahwa “di dalam diri manusia ada segumpal daging, yang apabila daging itu baik, maka akan baiklah seluruh organ tubuh, dan sebaliknya, jika segumpal daging itu ternyata buruk, maka akan menjadi buruk seluruh organ tubuh kita. Segumpal daging itu adalah Hati “.
[4]  Fauzan, M,. SH,. MM, Drs. “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia”, Prenada Media, Mei 2005, hal : 92
[5]  Iqbal, Afzal., “Diplomasi Islam”, Pustaka al Kautsar Juli 2000, hal : 3
[6]  Pada tanggal 29 Oktober 2009 telah disahkan perubahan kembali UU. No. 14/1970 menjadi UU. No. 48/2009, sedangkan UU. No. 7/1989 juga telah mengalami perubahan yang kedua mejadi UU. No. 50/2009
[7]  Justitia, bahasa latin yang yang dijadikan simbol patung seorang wanita dari Romawi dengan mata tertutup, pada tangan sebelah kanan memegang pedang terhunus sedangkan pada tangan kirinya memegang timbangan (teraju), patung tersebut melambangkan putusan pengadilan tidak boleh pandang bulu dan tebang pilih.
[8]  Nabi Muhammad SAW menegaskan dan memperingatkan dalam Haditsnya, bahwa salah satu kriteria Hakim yang akan menerima ganjaran dosa (neraka, red), yaitu apabila memutus suatu perkara bukan berdasarkan pada spesifikasi ilmu yang dimilikinya, hanya memutus dengan “ketidaktahuannya akan hukum”. Al Hadits, rawahul arba’ah
[9]   Varia Peradilan No. 257, april 2007, hal : 12.
[10]  Ibid.

No comments:

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang beragama Islam, semoga puasa kali ini bisa lebih baik dari yang sebelumnya baik dari amal ibadah ...